Jumat, 28 Juni 2013

Ciri-ciri Keluarga Sakinah (3)



Ciri ketiga dari keluarga sakinah adalah sederhana dalam berbelanja. Melihat fenomena pamer kekayaan yang terjadi di masyarakat kita secara tidak langsung mendidik anak-anak untuk berorientasi pada kemewahan. Termasuk di dalamnya dalam hal berbelanja. Banyak keluarga yang boros dalam mengalokasikan kebutuhan bulanannya. Pengertian ’boros’ adalah membeli yang tidak dibutuhkan, mengkonsumsi barang sekunder yang tujuannya hanya memuaskan keinginan.

Ciri keempat adalah santun dalam pergaulan. Rasulullah saw bersabda bahwa beliau diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dan akhlak tersebut haruslah berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Biasanya akhlak tercermin dari sikap yang santun. Tidak mencela, menggunjing, berbohong, adalah sebagian dari ciri kesantunan. Bila dalam sebuah keluarga sering terdengar ucapan kasar, caci maki, gosip dan kebohongan, maka sesungguhnya keluarga tersebut jauh dari rahmat Allah SWT. Orang tua yang sering memaki anaknya atau pasangannya kelak akan melahirkan generasi yang juga tidak mampu menjaga lisannya. Tentu dibutuhkan keteladanan dalam mendidik sopan santun pada keluarga.

Dan ciri kelima adalah bermuhasabah alias intropeksi diri. Orang tua bisa saja keliru dalam mendidik anaknya, demikian pula seorang anak bisa pula salah berkomunikasi dengan orang tuanya sehingga membuat hati mereka terluka. Untuk itu dibutuhkan kerendahan hati untuk bermuhasabah, karena mereka yang sering menghisab dirinya sendiri adalah mereka yang belajar untuk menjadi lebih baik. Dan sebuah keluarga sakinah mawaddah wa rahmah adalah keluarga yang menjadikan muhasabah sebagai rutinitasnya.

Kamis, 27 Juni 2013

Ciri-ciri Keluarga Sakinah (2)



Ciri kedua adalah saling menghormati antara yang muda dengan yang tua. Tentu yang dimaksud di sini tidak sebatas hubungan orang tua dengan anak saja, namun juga kepada hubungan adik dengan kakak, paman/bibi dengan keponakan, bahkan anak majikan dengan pembantu rumah tangga. Kalau seorang anak sudah tidak menaruh hormat pada orang tuanya, adik tidak mau mendengar apa yang dinasehatkan kakaknya, keponakan tidak menganggap kata-kata pamannya sendiri, atau anak majikan memperlakukan pembantu rumah tangga yang lebih tua dari dirinya tidak lebih sebagai seorang budak, maka sudah dipastikan sulit menemukan ketenteraman dalam rumah tangga seperti itu.

Demikian pula sebaliknya. Ketika orang tua sudah tak peduli lagi dengan anaknya, kakak tidak mau mengasuh adiknya, paman tidak pernah mengayomi keponakannya dan pembantu rumah tangga memperlakukan anak majikan seperti atasan sendiri sehingga tidak ada rasa kasih sayang dalam hatinya, rasanya sulit juga untuk bisa menciptakan keharmonisan di dalamnya.

Untuk itu, mendidik anak agar memiliki rasa hormat kepada mereka yang lebih tua harus menjadi prioritas saat mereka masih balita. Dan orang tua juga harus mendidik dirinya sendiri untuk menyayangi mereka yang lebih muda, baik itu adiknya, keponakannya atau yang tidak ada hubungan kekeluargaan sama sekali. Sebagaimana Rasulullah saw selalu menunjukkan kasih sayangnya kepada anak-anak tetangga, pembantunya, atau mereka yang tidak pernah berhubungan langsung dengan beliau. Dan sebaliknya beliau juga mengajarkan bagaimana menghormati mereka yang lebih tua dari kita.

Rabu, 26 Juni 2013

Ciri-ciri Keluarga Sakinah (1)



Setelah mengenal tentang makna sakinah mawaddah wa rahmah (samara), kita perlu mengetahui seperti apa ciri-ciri keluarga sakinah tersebut. Dalam Islam, sebagaimana yang disampaikan Rasulullah saw, ada lima pilar yang perlu diperhatikan agar cita-cita membentuk keluarga samara tercapai, yaitu memiliki kecenderungan kepada agama, yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda, sederhana dalam berbelanja, santun dalam pergaulan dan terakhir selalu intropeksi atau muhasabah.

Di hadist lainnnya, Rasulullah saw juga menyebutkan empat hal yang mendatangkan kebahagiaan dalam rumah tangga (arba`un min sa`adat al mar’i), yaitu suami istri yang setia, anak-anak yang berbakti, lingkungan sosial yang sehat, dan rezki yang dekat. Keempat hal ini, ditamhah empat pilar sebelumnya, adalah dasar-dasar membentuk keluarga bahagia berlandaskan syariat. Artinya, ada sembilan tolak ukur untuk melihat apakah sebuah keluarga tersebut terkategori samara atau tidak.

Ciri pertama, memiliki kecenderungan terhadap agama, adalah syarat mutlak untuk menjadi samara. Jika dalam sebuah keluarga seorang ayah lebih senang mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan materi, ibunya condong untuk menilai sesuatu berdasarkan harat benda, dan anak-anaknya tidak kenal dengan sholat, mengaji atau puasa, maka keluarga model seperti ini jauh dari ciri keluarga yang sakinah. Urusan kebahagiaan ukurannya adalah harta yang banyak atau jabatan pekerjaan yang tinggi. Tidak ada ukuran akherat dalam menilai kehidupan. Ini bahaya bagi kehidupan keluarga itu sendiri.

Selasa, 25 Juni 2013

Membentuk Keluarga Sakinah



Dalam setiap doa kita kepada pengantin baru, kita selalu berharap bahwa keluarga yang terbentuk ini nantinya akan menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah. Sebagian masyarakat menafsirkannya sebagai keluarga yang harmonis, rukun dan akur. Padahal makna sesungguhnya jauh lebih mulia daripada itu. Dalam bahasa Arab, sakinah mengandung arti ketenangan, terhormat, perlindungan, kasih sayang, memperoleh pembelaan dan aman. Penggunaan kata ’sakinah’ merujuk pada Al Qur’an surah ke 30 ayat 21, yaitu Allah menciptakan perjodohan bagi manusia agar satu sama lain merasa tenteram. Jadi sakinah di sini adalah ketenteraman.

Bagaimana dengan kata ’mawaddah wa rahmah’? Mawaddah berarti menggebu-gebu, cinta membara, dan nafsu terhadap lawan jenis. Sifatnya lebih kepada material seperti kecantikan, ketampanan, bentuk tubuh, harta benda dan lainnya. Kata ’mawaddah’ ini sama artinya dengan kata ’mahabbah’ yang artinya cinta. Sedangkan kata Rahmah berarti ampunan Allah, anugerah, kasih sayang, rezeki. Sifatnya lebih kepada suasana batin.

Jadi sakinah mawaddah wa rahmah berarti keluarga yang membuat hati tenteram dan digerakkan oleh rasa cinta yang besar yang dianugerahi Allah SWT melalui sepasang suami istri. Ini adalah cita-cita setiap muslim yang ingin atau telah berkeluarga. Tidaklah ini tercapai kecuali karena dibentuk oleh suami yang sholeh dan istri yang sholehah. Menciptakan keluarga seperti ini tidak sederhana, namun bukanlah pekerjaan yang mustahil. Dimulai dari bagaimana seseorang itu memilih jodohnya.

Minggu, 23 Juni 2013

Pendidikan Anak Dalam Islam (3)


Pendidikan Anak Islam

Selama masa kehamilan tersebut, menjaga perilaku sangat penting agar tidak mempengaruhi karakter si calon bayi. Akhlak anak bergantung pada akhak orang tuanya, dan pembentukan di tahap awal berada pada masa-masa dalam kandungan. Dengan menjaga diri dari perbuatan dan perkataan tercela, secara tidak langsung kedua orang tuanya telah berhasil mendidik sang buah hati di tahap awal.

Saat anak lahir, sebagai wujud rasa syukur perlu ’dirayakan’ dengan memotong kambing (aqiqah). Kurun waktunya yaitu 7 hari setelah kelahiran. Barulah setelah itu anak diberi nama yang baik, nama yang mengandung doa. Ada cerita menarik saat perang Badar berkecamuk. Terjadi pertarungan satu lawan satu antara Ali, Hamzah dan ’Ubaidah dari pihak kaum muslim melawan ’Utbah, Al-Walid dan Syaibah di pihak musyrik. Nama-nama mereka mengandung makna. Ali (yang tinggi) melawan Utbah (orang yang kecil). Hamzah (singa) bertarung melawan Syaibah (orang tua). Sedangkan Al Walid (anak kecil) melawan ’Ubaidah (hamba yang masih kecil. Dan yang terjadi adalah, Ali menang melawan Utbah, Hamzah berhasil membunuh Syaibah, sedangkan Al Walid dan ’Ubaidah sama-sama terluka tanpa ada yang terbunuh.

Nama yang baik, sekali lagi, adalah doa yang diberikan orang tua pada anak. Tidak heran kalau nantinya karakter anak akan sesuai dengan namanya. Tidak perlu memberi nama yang kebarat-baratan agar terlihat modern. Nama Islam sudah sangat indah, dan di dalamnya mengandung harapan dan proses pembentukan sifat dan sikap. Jadi kita tidak boleh setuju dengan Shakespere yang mengatakan ”Apalah artinya sebuah nama?”. Sebab nama memang memiliki banyak arti.

Sabtu, 22 Juni 2013

Pendidikan Anak Dalam Islam (2)


Pendidikan Anak Islam

Berhubungan intim merupakan tahap awal pendidikan anak dalam Islam. Setelah terjadi proses pembuahan dan kehamilan, pendidikan anak pun terus berlanjut dengan pendidikan dalam kandungan. Ibu disarankan sering membaca Al Qur’an agar kelak anaknya bisa dengan mudah menghafal ayat-ayat suci nantinya. Jika orang Yahudi mendidik anak dalam masa kehamilan dengan main musik, maka Islam menganjurkannya dengan sering tilawah.

Sering membaca doa juga merupakan cara mendidik anak di periode ini. Ada banyak doa yang diajarkan oleh Allah SWT melalui kitabNya. Misalnya doa Nabi Zakaria dalam surah Al Imran 38:

”Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar Doa”

Selain itu ada juga doa Nabi Ibrahim dalam surah As-Shaafaat ayat 100 dan An Nahl ayat 78. Doa-doa ini perlu didawamkan baik oleh suami maupun istri yang sedang hamil. Tujuannya bukan sekedar agar anak ini lahir dengan selamat, namun juga berakhlak mulia sehingga memudahkan orang tuannya dalam membimbing mereka.

Di minggu ke 8 hingga 24, ada baiknya sang jabang bayi sering-sering diajak berbicara karena pada saat itu indera pendengarannya sudah mulai terbentuk. Janin dipastikan akan mulai mendengar suara melalui air ketuban. Secara ilmiah, air ketuban merupakan penghantar gelombang suara yang baik. Uniknya bahkan janin tersebut bisa kaget apabila mendengar suara-suara yang keras.

Kamis, 20 Juni 2013

Pendidikan Anak Dalam Islam (1)


Pendidikan Anak Islam

Dalam agama Islam, Mendidik anak dimulai dari saat anak belum lahir. Bahkan jauh sebelum terjadi hubungan suami-istri yang kemudian menanamkan benih embrio. Kapankah pendidikan anak dimulai? Yaitu saat calon suami dan calon istri memilih pasnagan hidupnya.

Jika seorang laki-laki salam memilih wanita yang akan menjadi ibunya, maka bisa dipastikan kelak anak-anaknya pun tumbuh dalam nuansa pendidikan keluarga yang tidak tepat. Demikian juga sebaliknya, apabila seorang wanita ingin memilih ayah yang bertanggung jawab untuk anak-anaknya nanti, tentu dimulai dari bagaimana ia memilih suaminya sekarang. Di sinilah fungsinya panduan Islam dalam memilih jodoh, karena dampaknya tidak saja terhadap diri mereka sendiri, namun juga pada keturunan mereka berikutnya.

Saat pernikahan telah terjadi, pendidikan anak berlanjut pada tahap proses hubungan suami istri. Rasulullah saw mengajarkan doa bersenggama agar dijauhkan dari syaithon dan seks menjadi bagian dari ibadah dan bentuk ketakwaan:

Ibnu Abbas berkata, Rasulullah -sholallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Apabila seseorang membaca doa berikut ini sebelum menggauli isterinya: “bismillah allahumma jannibnis syaithan wa jannibis syaithan ma razaqtana” (Dengan menyebut nama Allah, ya Allah, jauhkanlah syetan dari saya, dan jauhkanlah ia dari apa yang akan Eukau rizkikan kepada kami (anak, keturunan), kemudian dari hubungan tersebut ditakdirkan menghasilkan seorang anak, maka ia tidak akan diganggu oleh setan selamanya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rabu, 19 Juni 2013

Ciri Wanita Sholehah (2)



Busana Muslim

Karakteristik seorang wanita muslimah lainnya adalah ia berpakaian tidak menyerupai laki-laki. Tidak berambut cepak, memakai celana pendek, atau perilaku-perilaku lain yang biasanya melekat pada sosok laki-laki. Busana muslim yang ia kenakan pun bukan  kemeja koko meski secara penampilan ia merasa cocok, namun lebih disesuaikan dengan jenis kelaminnya seperti blus atau rok panjang.

Rasulullah saw bersabda: “Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita-wanita yang menyerupai laki-laki”

Ciri wanita sholehah lainnya adalah kemampuannya menjaga pandangan. Sebagaimana aurat yang tidak diumbar, ia pun memelihara diri dari pandangan yang buruk atau yang bisa menimbulkan syahwat. Matanya terpelihara dari penglihatan-penglihatan yang merusak hati.

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nur: 31)

Sifat lain yang melekat pada diri seorang wanita sholehah adalah menjauhi hal-hal yang tidak penting atau sia-sia. Contohnya menggunjing orang, menonton gosip, atau lainnya. Apalagi kalau berkumpul dengan tetangga, biasanya potensi untuk menceritakan aib orang lain sangat terbuka lebar. Namun tentu saja tidak berlaku buat wanita sholehah.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat:12)

Selasa, 18 Juni 2013

Ciri Wanita Sholehah (1)



Busana Muslim

Memiliki pasangan atau istri sholehah adalah idaman bagi setiap pria yang masih bujang. Jangankan mereka yang terkategori sebagai lelaki sholeh, bahkan lelaki yang ‘tidak sholeh’ pun mendambakan istri yang sholehah. Minimal mengenakan busana muslim yang menutup aurat sebagai tanda keimanannya.

Untuk mendeteksi siapa yang terkategori sholehah, ciri-cirinya mudah untuk dikenali. Pertama, ia menjaga ketaatannya pada Allah SWT melalui ibadah-ibadah wajib. Ini adalah indikator paling minimal seorang wanita terkategori kelompok yang sholehah. Jika ibadah wajibnya saja masih bolong-bolong, tentu derajat ketakwaannya perlu dipertanyakan.

Kedua, wanita sholehah adalah mereka yang menjaga hijab atau aurat tubuhnya kecuali pada yang mahram. Mengenakan busana muslim yang memenuhi syar’i alias menutupi dada. Tidak mengumbar kecantikan dan kemolekan tubuhnya serampangan hingga menarik mata orang-orang yang punya penyakit di hatinya.

“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab:59)

Ketiga,  setelah mengenakan busana muslim yang menutupi auratnya, ciri lainnya adalah enggan berkhalwat atau berduaan dengan yang bukan mahramnya. 

“Tidaklah seorang wanita itu berkhalwat dengan seorang laki-laki, kecuali setan menjadi pihak ketiganya” (HR Ahmad)

Menjauhi potensi bersama lelaki yang bukan mahramnya adalah ciri khas seorang wanita sholehah.